Soe Hok Gie, Catatan Seorang Demonstran

10:16

Catatan harian biasanya merupakan tempat curahan hati masalah pribadi yang tidak dapat diungkapkan pada orang lain. Sehingga kadang isinya adalah hal-hal galau yang dialami seseorang. Saya tidak tahu entah mengapa catatan harian selalu diidentikkan dengan hal demikian. Namun ada salah satu catatan harian yang secara apik ditulis dengan rutin oleh si Empunya. Catatan terseput menginspirasi para pemuda hingga masa kini, puluhan tahun setelah si pencatat meninggal. 

Ia meninggal di usia yang masih sangat muda, pada umur 27 tahun kurang sehari di puncak gunung tertinggi di Jawa, Mahameru. Bagaimana sesosok anak muda yang demikian cepat meninggalnya namun gaung namanya masih terdengar di mana-mana? Tentu karena catatan hariannya. Adalah Soe Hok Gie, seorang pemuda Indonesia yang sedari SMP telah menulis catatan harian meski kala itu belum rutin. Dari catatannya inilah jejak terserak tentang dirinya yang memang keberadaannya sudah diketahui banyak orang karena sering menulis di berbagai media massa kala itu, semakin kentara. Tulisannya menginspirasi para kaum muda di mana-mana.

Mengapa Soe Hok Gie meninggal di atas gunung? Dalam pengantar buku ini, salah satu orang yang mengenalnya menyatakan bahwa bersatu dengan alam, menikmati udara segar pegunungan adalah obat kekecewaan atas kondisi yang masih terjadi. Sehingga ia suka mendaki gunung di sela-sela kesibukannya dan bahkan membentuk mapala (mahasiswa pecinta alam) di FSUI, tempatnya kuliah. Soe Hok Gie menginginkan supaya pemerintah setia pada cita-cita pembangunan dan setia pada rakyatnya. Namun kondisi pemerintahan pada Masa Presiden Soekarno maupun Presiden Soeharto ternyata masih ada bagian yang kurang sesuai. Di mata saya, ia bukannya tidak mendukung pemerintah, justru ia menjaga supaya pemerintah tetap berada pada jalur yang tepat. Sehingga terus menulis pemikiran dan kritikannya pada media massa supaya didengar. Memang di situlah peran pemuda. Jika pemerintah sudah kebablasan, barulah pemuda bisa membuat pergerakan untuk menuntut apa yang semestinya menjadi hak bangsa ini. Revolusi, orde baru dan reformasi semuanya muncul di negara tercinta kita oleh peran pemuda. Maka jangan pernah remehkan peran pemuda pada setiap masa. Di masa kini sebagian pemuda galau-galauan tentang cinta, sebagian lain menjadi kaum hippies dan yang lainnya lagi menjadi pemuda pemudi berprestasi dan selalu produktif berkarya. Semua tidak ada yang salah, setiap orang berhak mengambil perannya sendiri. Mau berperan jadi pemuda yang mana adalah pilihan kita masing-masing. :)
Tenang saja, kita tidak akan mendapati bacaan mengenai arahan untuk berdemonstrasi. Buku Catatan Seorang Demonstran ini murni merupakan catatan harian Soe Hok Gie dengan pengantar dari beberapa pihak pada bagian awal dan akhir buku yang akan membantu kita untuk lebih mengerti mengenai isi buku harian tersebut, atau sekadar memberikan pandangan lain tentang isi buku karena bisa jadi pandangan kita berbeda dengan perspektif para komentator. Bagi saya sendiri, Soe Hok Gie bukanlah pemberontak. Sama sekali tidak ada provokasi dari catatan hariannya itu.

Di dalamnya pun terdapat cerita tentang masalah asmara para mahasiswa. Soe Hok Gie mengalami hal yang cukup pahit mengenai hal ini. Padahal dengan karakternya yang demikian tegas dan orangnya yang demikian menyenangkan, saya rasa saya sendiri bisa saja jatuh hati padanya. hehehe :p

Jika ditanya siapa saja yang tepat untuk membaca buku ini maka jawaban saya adalah pemuda, namun terdapat sedikit kekhawatiran dari pribadi saya jika para pemuda yang membaca buku ini adalah orang yang arogan. Bisa jadi ia hanya melihat aksi yang dilaksanakan Soe Hok Gie tanpa memahami filosofi kenapa ia sampai melakukan hal tersebut. Sedangkan para pelajar sekolah menengah perlu membaca buku ini dengan bimbingan orang tua. Sebenarnya buku ini layak dibaca semua kalangan dan bahkan orang dewasa. Karena dari buku ini kita dapat melihat betapa produktifnya keseharian Soe Hok Gie. Energi produktifnya saya yakin akan menular kepada si pembaca. Barangkali dengan membacanya kita akan mengurangi kegiatan yang kurang berdaya guna dalam keseharian kita. 

Soe Hok Gie mendedikasikan dirinya untuk idealisme, organiasasi dan kemanusiaan tanpa takut mengkritik siapa saja yang memang dirasa melanggar idealisme dan kemanusiaan, entah itu pejabat atau bahkan rekannya sendiri. Ia pun tak sungkan membela atas apa yang semula ia kritisi jika implementasinya melanggar hak asasi manusia atau melanggar asas kemanusiaan. Kejujuran dan kelurusan semacam ini kian minim di masa sekarang. Kita tak harus menjadi kritikus, cukup mengilhami untuk kembali jujur pada idealisme dan kemanusiaan dulu.

Memang beberapa pihak bisa merasa buku ini bagaikan buku silat karena seolah Soe Hok Gie dan rekannya yang paling benar dan apa yang mereka lakukan niscaya akan tercapai tujuannya. Namun hendaknya kita tidak melihat dari sisi itu saja. Inspirasi mengenai bagaimana seseorang pemuda berperan dalam pergerakan kemajuan suatu bangsa perlu disadari oleh pemuda masa kini. Tak berarti pemuda masa kini tidak memiliki semangat itu, tapi saya rasa banyak yang lupa pada idealisme, kemanusiaan dan yang terpenting kejujuran. Aksi mahasiswa seperti masa 66 pada buku ini patut menjadi inspirasi supaya mahasiswa masa kini bergerak bukan karena ego pribadi atau bahkan dibayar. Bergeraklah untuk kepentingan rakyat, kepentingan bangsa.
Sedangkan saya sendiri belajar tentang bagaimana membuat kegelisahan dari keruwetan supaya mendesak kita menjadi seorang yang dinamis. Lalu saya jadi ingat bahwa saya sudah jarang membaca. Saya sangat iri pada hok Gie yang telah membaca karya-karya hebat dalam bentuk buku sedari SMP. Apabila saya serajin itu dalam membaca tentu saya tidak akan sebodoh ini. Hehehe. Setelah membaca buku ini saya segera membaca apapun yang ada di kamar yang belum terbaca. Buku dan majalah semua saya lahap. Otak saya haus akan sesuatu yang berisi dan bermanfaat. Selain itu saya juga belajar bagaimana ia tidak mengambil tendensi pribadi dalam menyelesaikan masalah organisasi. 

Buku ini memang sudah lama sekali terbitnya. Saya menunda-nunda untuk membacanya karena khawatir saya tersulut semangat Hok Gie dan belum siap untuk membentur-benturkan aneka pikiran yang ruwet yang akan muncul di otak ketika membacanya. Namun terbukti saya salah, justru saya mendapat pencerahan di sana. Saya mendapatkan cara baru untuk mengatasi kegelisahan tak berdasar saya. Apa yang menjadi sumber kehawatiran saya kemudian saya uraikan dan rekonstruksi ulang untuk mendapatkan pemahaman yang sesuai dan yang dapat saya terima. Seusai itu saya tak memaksakannya pada orang lain, saya memakainya untuk diri saya sendiri, tentu dengan suka rela saya akan membagi ceritanya pada yang bertanya. Namun yang jelas, nantinya jika ada benturan baru, maka saya siap menyambutnya, memeluknya dan melihat apakah saya perlu menambahkan pada pemahaman saya yang lalu atau tinggal menjadikannya sebagai wawasan dan perspektif lain saja. Saya tidak terlalu cemas lagi, karena secara mendasar saya sudah selesai dengan ke-insecure-an saya pribadi.

Bagi yang masih ada di bangku sekolah dan perguruan tinggi, saya sarankan untuk membaca buku ini. Kita akan menemukan bagaimana nikmatnya berorganisasi dan bagaimana menjadi dewasa melalui organisasi. Bagi orang tua, alangkah baiknya jika membaca juga, supaya tetap dinamis, dan dapat membimbing anaknya yang barangkali membutuhkan bantuan dari Anda.

Menulislah, maka ketika kita tidak ada, masih ada manfaat yang bisa diambil orang lain dari tulisan kita. Sehingga seolah ruh kita masih hidup dan menularkan energi-energi positif kepada orang yang membacanya. Seusai membaca buku ini, saya jadi rajin mencatat hal-hal yang saya alami. Ternyata hal ini bermanfaat untuk mengurangi ruwetnya pikiran. Satu buku ini saja sudah menggerakkan demikian banyak hal (membaca, menulis dan menjadi produktif) yang saya suka namun tadinya terlupakan karena saya terlena oleh keseharian .  Ayo pemuda jangan terlena, mari menjadi produktif juga sebagaimana Soe Hok Gie yang selalu dinamis hingga akhir hayatnya. 

Salam.

You Might Also Like

9 komentar

  1. Kenal Gie dari filmnya kalau saya. Blm pernah baca bukunya. Memang kisahnya dia sangat inspiratif.

    ReplyDelete
    Replies
    1. Aku belum berani nonton filmnya mas, nanti rencananya setelah baca bukunya dulu :))

      Delete
  2. Belum baca buku ini. Tapi memang benar ya, sebuah tulisan bisa tetap terus operasional dan berdampak, lama setelah penulisnya sendiri tiada..

    ReplyDelete
  3. Akoh malah nonton film-nya dulu, minjem di UltraDisk jaman masih kuliah dulu....emang bagus banget dan inspiratif tapi semua tergantung bagaimana cara pandang kita sih. Kadang kita sebelumnya sudah punya pikiran macam2 padahal menurut gie sih ya kalau nonton atau baca buku yang emang nyata atau kontroversial baiknya ya mengosongkan hati dan pikiran dari segala prasangka.

    #ya ampun kok malah panjang komennya, maapkeun ya jeng :D

    ReplyDelete
    Replies
    1. Jadi bedanya Catatan Harian Soe Hok Gie sama Catatan Perjalanan Gie apa ya Kaka? :p

      Delete
  4. Salam kenal ya Kak Nia, saya lagi rindu jaman2 jadi aktivis kampus, trus cari resensi bacaan buku soe hok gie, eh nyasar di web ini. Tulisan resensi nya cukup membuat saya tergiur buat hunting buku ini setelah agak ragu untuk membeli hihihi...

    ReplyDelete
    Replies
    1. Hai Anggita, salam kenal ya. Makasih udah mampir di blog aku. worth to read kok buku ini. kalau ragu bisa pinjam teman dulu :D

      Delete
  5. Yang terucap akan lenyap,yang tercatat akan teringat ,,mungkin ini yang tepat :)

    pemuuda yang produktif,,,mengasikan :)

    ReplyDelete

Terima kasih sudah berkunjung, silakan tinggalkan komentar.
Love, Nia :)

Like us on Facebook

Instagram