Mendaki Gunung Singgalang Part2

11:46

Sudah tahu kan cerita kami kehujanan sepanjang perjalanan pendakian menuju puncak Singgalang? Jika belum silakan baca Mendaki Gunung Singgalang Part1. Dengan disupporteri oleh Uda Ris, nama guide kami, maka kami terus mengobarkan bara semangat di dalam hati meski sekujur tubuh kami basah dan kedinginan. Si Uda selalu bilang dikit lagi sampai dikit lagi sampai. Pelan-pelan kami melanjutkan perjalanan, sesekali berhenti. Lalu Uda Ris akan menyalakan abu yang telah disiram minyak tanah untuk menyalakan api. Sekali lagi kami beruntung guide kami membawa sumber api tersebut, jika tidak maka tak ada sumber kehangatan apapun yang bisa kami dapatkan, semuanya basah kuyup.

Maghrib pun tiba, sedangkan kami belum smpai ke zona batu cadas. Karena melihat kami kedinginan, Da Ris mengajak kami berhenti di bawah pohon besar. Kami menyalakan api ke abu minyak tanah. Da Ris memang membawa bekal ini cukup banyak. Lumayan untuk menghangatkan tangan kami yang mulai kaku. Kami makan dulu di situ, menyeduh pop mie dan kopi. Jadi kalau ada yang mau mendaki di musim hujan, karena tidak ada ranting yang tidak basah, mending bawa abu dicampur minyak tanah banyak2. 

Berat rasanya bagi kami untuk beranjak dari bawah pohon besar tadi. Terlanjur hangat di situ. Apa boleh buat, dari pada nanggung, kami melanjutkan perjalanan lagi. Kali ini masih hujan dan angin kencang plus ditambah kondisi  GELAP. Perfecto :D

Dengan tekad yang dikuat-kuatin, dan dengan do'a yang terus menerus, akhirnya kami beranjak untuk naik lagi dan lagi. Kalimat yang kalau dihitung bisa ratusan kali lebih yang muncul saat itu adalah "Da, masih jauh gak Da", dan selalu dijawab "Dikit lagi setelah itu tuh." Wkakakakakaaaaa

Akhirnya Da Ris mengatakan sesuatu yang mendatangkan hormon serotonin yang berlebihan hingga kami senang tiada tara, "Ini udah cadas nih." Horeeee, kami pikir bentar lagi sampai.

Karena medan-nya mulai mengerikan saya baru jujur ke Da Ris, bahwa saya sedang haid tapi sudah agak hari akhir jadi sudah tidak emosian tapi daya tahan tubuh saya agak jelek seperti tadi pagi karena masih terpengaruh hormon. Si Uda tampangnya agak berubah tapi langsung kembali ramah lagi, and he said "Nia gak boleh di belakang, gak boleh juga paling depan, tengah terus!"

Jadi di beberapa Gunung ada larangan untuk naik gunung saat sedang haid, mitos-mitosnya aneh-aneh. Tapi kalau saya sih percayanya gak boleh itu karena kawatir saat itu emosi kita sedang tidak stabil. Nggak boleh lho naik gunung terlalu mementingkan ego. Kita dalam kondisi normal aja belum tentu kuat mental untuk menjaga kewarasan ketika di atas gunung, apalagi saat terpengaruh perubahan hormon yang labil. Selain itu daya tahan tubuh juga beda, kalau beruntung ya jadinya lebih kuat lebih semangat, tapi seringnya kebanyakan cewek kan jadi lemes. Alhamdulillah yah gada makhluk2 Tuhan yang menculik saya saat itu, buktinya saya sekarang mssih di sini n bisa nulis blog ini. Hihihi

Lanjut ke cerita inti, di zona cadas banyak orang mendirikan camp, sepertinya mereka malas lanjut karena hujannya memang sangat deras. Da Ris menyarankan kami terus sampai Telaga Dewi. Saya yang dari awal sudah tersugesti akan indahnya telaga itu, langsung menempatkan diri di nomor 2 dari depan, tepat belakang Da Ris, tapi akhirnya kesalip teman lain juga sik :p

Zona setelah jajaran tenda-tenda pendaki berupa tanah cadas yang menanjak terjal, banyak air mengalir deras di kecuraman batu cadas yang kami lalui, apalagi hujannya semakin deras. Karena sudah malam dan benar-benar gelap, apalagi mata pedih terkena air hujan terus menerus, kami tidak tahu seberapa curam lahan cadas tadi. Pokoknya kami ngikut Da Ris, titik. Kami berhenti sejenak dan melihat sesuatu yang ada rantainya gitu. Kata Da Ris itu prasasti. Kemudian saya ingat, baca dari blog siapa saya lupa waktu googling, ternyata itu tugu untuk mengenang salah seorang anak yang hilang saat dia bersama rombongan pecinta alamnya mendaki Singgalang. Kebetulan anak itu adalah putra dari kapolres Padang kala itu, sudah dicari sampai berbulan-bulan namun tidak juga ditemukan. Katanya sih satu tapi nama yang tertulis di situ dua. Saya kurang tahu yang satunya siapa. Kalau lewat sini sepertinya para pendaki akan banyak-banyak berdoa. Ini pict tugunya saya ambil keesokan harinya saaat turun,sayang dicorat-coret :(
Terus dan terus dan teruuuuus sambil ada aja yang terus mengeluarkan kalimat favorit yang saya sebutkan di atas, haha, akhirnya kata Da Ris udah deket banget sampai Telaga Dewi, karena kawatir banjir dan airnya meluap, kami menunggu Da Ris melihat lokasi. Diam dalam keadaan basah dan terus dihujani air serta ditiup badai (suer beneran nih ) kami menggigil, jadi terpal yang dibawa Da Ris diberdirikan seadanya, kami jadikan peneduh, yang penting gak kehujanan lagi.

Da Ris kembali ke dekat telaga untuk menyiapkan ranting yang mau dipake buat mendirikan tenda di sana, eehh, ternyata sudah keduluan orang lain entah siapa. Akhirnya kami membuat camp di tempat tadi. Bukan kami sih, saya cuma nonton doang udah menggigil banget soalnya, heheh., di sinilah keliatan mana yang manusia2 tangguh yang mau berkorban buat yang lain :)

Dengan tingkat kesulitan bergerak level dewa, kami berusaha melepas sepatu yang basah, merapikan camp darurat, plus menata carrier2 agar menghalangi air masuk ke camp. Ada yang berusaha tidur, ada yang pengen makan dulu, saya pokoknya diem aja menggigil, hihiii, mencoba tidur, terbangun lalu mencoba tidur terus kebangun lagi, begitu terus sampai pagi. 

Pagi pun tiba, teman-teman banyak yang susah bangun, namun tidak beranjak dari tenda, mungkin karena dinginnya bikin malas, saya sih pengen cepet-cept turun jadi bangun cepet.. Setelah rasa malas yang panjang, kami selesai sarapan dan beberes bekas camp jam 10, saat itu hujan dan badai belum juga berhenti. Sebelum pulang kami ke Telaga Dewi dulu take some pict.
Karena sepatu n kaos kaki basah, saya malas pakai kaos kaki, tp Da Ris bilang kami harus pakai biar gak lecet. Jadi kaki dibungkus plastik dulu baru pakai kaos kaki kemudian sepatu.

Nah plastik yang bungkus kaki saya kekecilan jadi jarinya nekuk sakit banget kan, apalagi pas medan curam ilalang hadooh saya jd jalan jongkok n diketawain si FATA!! Ini alasan gue lo kira ngesot Ta.. Sakit jari kaki ambo T.T

Kami turun dengan gembira, di puncak masih hujan badai. Semakin turun, semakin nggak se-ngeri di puncak. Sampai di tanah cadas yang terjal, waaw curam banget, pantes aja Da Ris nyuruh kami naik td mlm, klo pagi ini pasti pada ogah, wkakakakaaa :p

Kami berpapasan dengan para pendaki yang mau ke puncak, kami saling menyapa. Semakin turun ke bawah dan semakin jauh meninggalkan area cadas, cuaca semakin membaik dan akhirnya cerah. Kami masak2 di dekat sumber air. Enaaaknyaaaa...

Karena sudah nyaman dan sudah makan, beberapa orang jd kebelet ke belakang tapi di tahan sampai bawah, setalah itu ya kami mencar2 turunnya karena tak kuasa ingin menahan hasrat ke WC.. Hahahhahaa

Akhirya pendakian ini berakhir, dengan penuh syukur kami menginjakkan kaki ke daratan (emang td bukan darat yak, haha, maksudnya ke tanah yang datar dekat stasiun pemancar TV tadi). Saya langsung excited duluan ke stasiun pemancar TVRI soalnya ngebet pengen ketemu toilet :p

What a great experience 

"Oke kapan Marapi ya??? " Saudari Ika mengajak saya lagi kali itu via twiter, Kapan ya Ka?? -___-"

You Might Also Like

0 komentar

Terima kasih sudah berkunjung, silakan tinggalkan komentar.
Love, Nia :)

Like us on Facebook

Instagram